Dr. Titon S. Kurnia, SH., MH. saat menyampaikan pokok pikirannya

BISKOM, Salatiga – “Langsung tancap gas” mungkin ungkapan yang paling tepat diberikan kepada jajaran pimpinan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (FH UKSW) yang baru saja dilantik pada 30 November 2022. Sehari setelah dilantik, FH UKSW di bawah kepemimpinan Dekan Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum. langsung menjalin Kerjasama dengan Badan Keahlian DPR RI serta menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Urgensi Penggabungan Undang-Undang di Bidang Pendidikan dan Arah Pengaturan RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional” pada Kamis (01/12/2022) di Gedung F, Kampus UKSW, Salatiga.

Hadir sebagai narasumber dalam FGD tersebut Dr. (HC) Willi Toisuta, Ph.D. (Rektor UKSW 1983-1993, Pakar Pendidikan), Prof. Ferdy S. Rondonuwu, M.Sc., Ph.D. (Wakil Rektor Bidang PAK UKSW), Dr. Titon S. Kurnia, SH., MH. (Dosen Hukum Tata Negara FH UKSW), dan Dr. Lidya Suryani Widayati, SH., MH. (Kepala Pusat Perancang Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI) dengan moderator Dr. Umbu Rauta, SH., M.Hum.

Baca :  Peningkatan Ambang Batas Parlemen Dapat Sederhanakan Jumlah Parpol Peserta Pemilu

FGD ini digelar secara hybrid dan diikuti oleh ratusan peserta, mulai dari pejabat struktural dan pejabat fungsional di lingkungan Sekretariat Jenderal DPR RI, hingga Civitas Akademika UKSW, tokoh pendidikan, dan pendidik. Pada paparanya, Dr. (HC) Willi Toisuta, Ph.D. menyampaikan landasan-landasan filosofis urgensi penggabungan undang-undang di bidang pendidikan.

Sementara Prof. Ferdy S. Rondonuwu, M.Sc., Ph.D. mulai membedah pasal-pasal dalam draft RUU Sisdiknas yang memiliki implikasi positif bagi kemerdekaan Perguruan Tinggi dalam mengatur proporsi Tridarma Perguruan Tinggi. Namun ada pula hal-hal yang masih perlu diperhatikan lebih mendalam, misalnya terkait dengan implikasi bagi dosen yang belum menerima tunjangan sertifikasi dosen. “Tunjangan sertifkasi dosen dan dosen profesor hanya akan dibayarkan negara bagi yang sudah memperoleh tunjangan sebelum undang-undang ini disahkan. Dosen, dosen profesor setelah ini menjadi beban Perguruan Tinggi masing-masing,” papar Ferdy.

Suasana diskusi dengan peserta FGD RUU Sisdiknas yang digelar secara hybrid

Pada kesempatan selanjutnya, Dr. Lidya Suryani Widayati, SH., MH. menyampaikan latar belakang baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis dari RUU Sisdiknas. Setidaknya terdapat 9 arah pengaturan pembentukan RUU Sisdiknas yakni penajaman filosofi, prinsip, dan tujuan pendidikan nasional; penyempurnaan pola penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan; penyempurnaan arah pengembangan kurikulum yang sesuai dengan  dinamika perubahan; penguatan paradigma pendidikan yang berorientasi pada kompetensi lulusan; peningkatan penjaminan akses, mutu, dan relevansi pendidikan bagi  warga negara; reorientasi standar nasional pendidikan; penguatan kompetensi dan peran pendidik dan tenaga kependidikan; peningkatan efisiensi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan; dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pendidikan.

Baca :  Bicara Di Kyongwoon University, Sultan Ajak Korea Selatan Kolaborasi Majukan Pendidikan Vokasi Indonesia

Sementara itu, Dr. Titon S. Kurnia, SH., MH. memberikan pemahaman terkait omnibus law dan kodifikasi. “Saya lebih memilih menggunakan konsep kodifikasi (atau untuk lebih presisi kodifikasi formal), ketimbang omnibus. Mengapa kodifikasi? Karena dalam penggabungan tersebut tema-tema dari undang-undang yang akan “dilebur” memiliki ciri umum yang sama, yaitu “pendidikan” sebagai kata kuncinya. Penggabungan ini akan menghasilkan “a body of law” di bidang pendidikan,” terang Titon.

Lebih lanjut Titon menjelaskan urgensi (yuridis) penggabungan UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi dan UU Guru dan Dosen. “Saya bertolak dari aspek aksiologis kodifikasi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Itu artinya, urgensi penggabungan akan saya justifikasi secara umum berdasarkan urgensi kodifikasi dengan mempertimbangkan aspek aksiologisnya. Pertama adalah pentingnya pengaturan yang selengkap-lengkapnya (completeness). Kedua, pentingnya koherensi internal. Ketiga, untuk, secara praktis, berdampak lebih memudahkan dalam penggunaan (more easily comprehensible) karena lebih sistematis,” ujar Dosen FH UKSW ini.

Baca :  JAM-Pidum Menyetujui 12 Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice
Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul, SH., M.Hum. (ketiga dari kiri) dan Rektor UKSW, Prof. Dr. Intiyas Utami, SE., M.Si., Akt. (kedua dari kanan) didampingi jajarannya usai penandatanganan MoU

Usai FGD, dilakukan penandatanganan MoU antara Badan Keahlian DPR RI dan UKSW. Penandatanganan dilakukan oleh Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul, SH., M.Hum. dan Rektor UKSW, Prof. Dr. Intiyas Utami, SE., M.Si., Akt. disaksikan oleh jajaran Badan Keahlian DPR RI dan FH UKSW. “Diharapkan MoU ini tidak berhenti sampai disini saja, namun ada tindak lanjut sehingga bermanfaat bagi kedua belah pihak dan berdaya dampak dalam pengambilan kebijakan,” pungkas Intiyas. (red)