Tidak dapat dipungkiri, penggunaan layanan berbasis awan (cloud) ‘meledak’ sepanjang pandemi. Bukan hanya karena tuntutan pekerja dan perusahaan yang harus tetap bisa saling terkoneksi selama bekerja dari rumah, tapi juga tren global memang sudah memprediksi demikian. 

Layanan cloud mendadak populer karena perusahaan yang semula hanya memiliki ruang server, data center, harus berupaya membuka layanan aplikasinya ke pengguna internal dan konsumennya. Maka pilihan tercepat adalah memindahkan aplikasinya ke layanan cloud. Tidak perlu repot, tidak perlu datang, semua dilakukan secara remote. 

Tidak hanya itu, selain layanan cloud, akses remote user juga mendadak populer. Mulai dari aplikasi yang sifatnya mengakses ke layanan yang sudah ada dengan model remote desktop, hingga layanan remote akses software, seperti TSPLUS yang kami jual. 

Semua ini dengan tujuan yang sama, memudahkan user, baik internal ataupun konsumen untuk mengakses layanan yang disediakan oleh perusahaan dan instansi. Tapi apa yang muncul menarik dalam tiga tahun pandemi ini ?

Baca :  Locked Out or Locking Down : Combating the Ransomware Threat

Pertama, semua perusahaan dan instansi memulai dengan satu layanan cloud provider. Data dari IDC menunjukkan bahwa 64% dari survei menggunakan layanan multi cloud provider. Jumlah ini meningkat 70% bila private cloud dimasukkan. 

Apa yang menyebabkan ini terjadi ? IDC menunjukkan data lagi, bahwa 44% perusahaan menyeleksi layanan infrastruktur cloud dan platform / software yang bisa disediakan oleh cloud provider. Bila satu cloud provider bisa memberikan layanan infrastruktur cloud dan aplikasi / platform yang diperlukan, maka mereka cenderung menggunakan satu cloud provider saja. Bila tidak bisa, maka terpaksa mereka menggunakan layanan multi cloud provider.

Kedua, penghematan. Penggunaan cloud selalu terkait dengan penghematan. Namun bila hanya menggunakan satu cloud provider, maka akan terjadi istilah vendor lock-in. Selalu dalam cloud, kita mudah masuk ke layanan cloud, tapi sulit keluar dari layanan cloud. Karena memang kita akan sangat bergantung dari vendor cloud yang kita gunakan. 

Baca :  Eventcerdas : AIoT for Enterprise

Maka untuk itulah, banyak perusahaan dan instansi mulai menggunakan strategi multi cloud provider, untuk menghindarkan jebakan vendor lock-in. Dengan adanya kompetisi, maka perusahaan dan instansi akan terus mengevaluasi penggunaan cloud nya dan bisa membuatkan penyesuaian atas beban dari masing-masing cloud provider. Data IDC menunjukkan 33% perusahaan dan instansi menggunakan strategi ini.

Strategi perusahaan hindari vendor lock-in

Ketiga. Lakukan optimalisasi beban (workload optimization). Cara ini dipakai perusahaan / instansi, karena data menunjukkan bahwa aplikasi yang ada:

– 31% adalah aplikasi arsitektur single tier

– 32% adalah aplikasi n-tier. Seperti front end, business logic, database.

– 37% adalah cloud native aplikasi dengan microservices.

Baca :  Cara Kerja Baru - New Way of Working - Activity Based Workplace?

Melihat dari data tersebut, maka perusahaan bisa saja melakukan optimalisasi beban workload yang ada. Bila aplikasi yang tinggi diakses, maka cenderung menggunakan layanan cloud yang memiliki latency dan bandwidth paling baik, selain services yang ada. Maka sangat penting untuk membuat daftar layanan aplikasi yang ada serta performansi yang kita harapkan. 

Kita kembali akan mendapatkan update seputar cloud dan data center pada tanggal 11 Mei 2023. Pastikan kehadiran anda di Indonesia Cloud and Data Center Convention di Shangri-la Jakarta. Kami nantikan kehadiran anda.

Daftarkan diri anda: Disini