Umar Sidik dan Wiwin Erni Siti Nurlina Peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

BISKOM, Yogyakarta – Sering kita menyaksikan seseorang dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan mantap dan percaya diri. Mereka tidak merasa ada kesalahan apa pun karena bahasa yang digunakannya sudah dianggap lumrah. Padahal, jika dicermati bahasa yang digunakannya sesungguhnya tidak tepat, bahkan salah. Mungkin secara gramatikalnya benar, tetapi secara maknawinya meleset. Ketepatan berbahasa tidak hanya diukur dari kebenaran secara struktur dan kelumrahan, tetapi juga harus benar atau tepat secara maknawi.

Ada tiga penyebab kesalahan penggunakan bahasa, yaitu (a) terpengaruh oleh bahasa yang lebih dahulu dikuasai, (b) kekurangpahaman terhadap bahasa yang digunakannya, dan (c) pembelajaran bahasa yang kurang tepat. Contoh ketidaktepatan penggunaan bahasa Indonesia dapat dicermati sebagai berikut.

Pertama, dalam sebuah acara, misalnya kuliah, pengajian, lokakarya, dan sebagainya, sering terdengar sebuah pengumuman: Yang membawa HP harap dimatikan atau disilent selama kegiatan berlangsung. Peserta acara dan pendengar pengumuman itu tidak ada yang protes karena dianggap tidak ada masalah. Secara gramatika tuturan itu tidak bermasalah karena sudah memenuhi unsur kalimat yang sempurna, yaitu subjek (Yang membawa HP), predikat (dimatikan atau di-silent), dan keterangan (selama kegiatan berlangsung). Oleh karena itu, silakan dicermati, siapa yang diminta untuk dimatikan atau di-silent? Tentu jawabannya ialah subjeknya, yaitu orang yang membawa HP, bukan HP-nya. Artinya, tuturan itu dilihat dari proporsi penggunaannya atau secara maknawi tidak tepat karena tidak mungkin yang membawa HP akan dimatikan. Oleh karena itu, pengumaman itu cukup dengan ungkapan Hp harap dimatikan atau di-silent!

Kedua, dalam sebuah acara, sering kita mendengar pewara (MC) menyampaikan rangkaian acara: Kepada Bapak Lurah waktu dan tempat kami persilakan. Sekilas ungkapan itu tidak ada yang salah dan sah-sah saja, tetapi sesungguhnya tidak tepat. Jelas bahwa yang dipersilakan bukan “waktu dan tempat”, tetapi orangnya (Bapak Lurah) yang akan memberikan sambutan. Sementara itu, waktu dan tempat disediakan untuk digunakan oleh Bapak Lurah ketika memberikan sambutannya.  Oleh karena itu, tuturan yang tepat ialah Kepada Bapak Lurah kami persilakan atau Kepada Bapak Lurah dipersikan, waktu dan tempat kami serahkan.

Ketiga, di atas mimbar seorang ustaz dengan lantang menyampaikan bahwa “Ulama itu pewaris para nabi”yang merupakan terjemahan dari hadis: al-‘ulamãu warãtsatul anbiyã’. Pendengar tidak ada yang protes atau merasa aneh dengan pernyataan itu. Namun, jika dicermati dari aspek kebahasaan sesungguhnya terdapat masalah yang substansial. Persoalannya terletak pada kata pewaris yang maknanya bertentangan dengan maksud hadis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pewaris dimaknai ‘orang yang mewariskan’. Awalan pe- pada kata pewaris menunjukkan sebagai pelaku (orang yang melakukan). Hal itu sejenis dengan kata penyumbang (orang yang memberikan sumbangan), pewakaf (orang yang memberikan wakaf), dan pewasiat (orang yang memberikan wasiat). Dengan demikian, pernyataan ulama itu pewaris para nabi maknanya berbalik 180 persen dengan pesan hadisnya, yaitu ulama berposisi sebagai penerima (waris) dan bukan sebagai pemberi (pewaris). Secara struktur pun tuturan itu bermasalah. Sebab, unsur kalimatnya tidak terpenuhi, yaitu terdiri atas subjek (ulama itu) + subjek (pewaris) + dan objek (para nabi). Oleh karena itu, hadis itu lebih tepat diterjemahkan Ulama itu waris (mewarisi) para nabi.

Keempat, pada peristiwa kematian, seorang pemandu mengumumkan: Bapak-Bapak/Ibu-Ibu yang akan menyalatkan janazah dipersilakan …. Hadirin pun tidak ada yang mempermasalahkannya karena sudah dianggap lumrah atau jamak. Akan tetapi, perlu dicermati khususnya pada frase menyalatkan jenazah. Konfiks me- -kan pada kata menyalatkan mempunyai makna menyebabkan atau membuat menjadi …. Dan, yang terkena akibat dari perbuatan si subjek ialah objeknya, yaitu janazah. Oleh karena itu, tidak masuk akal jika janazah disuruh melakukan salat. Pemahaman makna seperti itu dapat dicermati dalam kalimat (a) Ivan menjalankan motor; (b) Maman mendirikan pohon yang roboh; dan (c) Lemparan bola itu memecahkan kaca jendela kamar. Akibat pekerjaan si subjekialah menjadikan (menyebabkan) motor berjalan; pohon berdiri; dan kaca jendela pecah. Sehubungan dengan itu, tuturan yang tepat ialah Bapak-Bapak/Ibu-Ibu yang akan menyalati janazah (salat janazah) dipersilakan. Jadi yang digunakan dalam kalimat tersebut kata menyalati bukan  menyalatkan.

Kelima, masih terkait dengan konfiks me-  -kan yang penggunaannya kurang tepat, sering ditemukan dalam surat tugas yang berasal dari atas kepada bawahannya. Misalnya, tertulis Dengan ini Kepala Kantor menugaskan Mr.X untuk menyusun laporan tahunan. Permasalahnnya terletak pada menugaskan Mr.X …. Dalam KBBI kata menugaskan berarti ‘menyerahkan tugas, pekerjaan atau kewajiban kepada … (Mr.X)’. Oleh karena itu, kata menugaskan seharusnya diikuti dengan pekerjaan atau kewajiban yang harus dikerjakan. Misalnya, Kepala Kantor menugaskan penyusunan laporan tahunan kepada Mr.X. Jika tugas (pekerjaan) diikuti oleh pelaksananya (Mr.X), kata yang tepat digunakan ialah bentuk menugasi sehingga menjadi Kepala Kantor menugasi Mr.X menyusun laporan tahunan. Jadi, kata menugaskan diikuti bentuk penugasannya, sedangkan kata menugasi  diikuti nama orang yang diberi tugas.

Baca :  Grand Final Asia-Pacific Predator League 2022 Berakhir

Sekadar menambah contoh penggunaan yang salah, tetapi lumrah terjadi di masyarakat, misalnya sebagai berikut.

(1) (S) *Demikian kami sampaikan, atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

(B) Atas perhatian Bapak/Ibu/Saudara, kami mengucapkan terima kasih.

(2) (S) *Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-78

(B) Hari Ulang Tahun ke-78 kemerdekaan RI

(3) (S) *Dalam musyawarah kemarin menetapkan Mr.X menjadi bakal calon wakil presiden.

(B) Dalam musyawarah kemarin ditetapkan Mr.X menjadi bakal calon wakil presiden.              

Kesalahkaprahan berbahasa tentu tidak hanya contoh-contoh di atas, masih banyak kasus lain yang dapat ditemukan dalam penggunaannya. Kondisi seperti itu, bukan semata-mata karena si pengguna belum pernah memperoleh pengetahuan tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar. Akan tetapi, lebih pada persoalan sulitnya mengubah kebiasaan diri. Sulitnya orang berubah  karena beberapa faktor, antara lain, (a) telah tertanam dalam diri seseorang pemikiran yang kuat terhadap apa yang diketahui walaupun belum tentu benar; (b) pengaruh kebiasaan dan tradisi yang terbangun oleh lingkungannya sejak kecil; (c) terbiasa pada zona nyaman sekalipun kebiasaan itu kurang tepat, bahkan sesuatu yang salah. (Redaksi)