BISKOM | Jakarta – Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 menetapkan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok yang mulai berlaku pada awal 2025. Kebijakan ini bertujuan mengendalikan konsumsi rokok dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun, para pakar menilai kebijakan tersebut masih menyisakan sejumlah dilema.
Meski HJE rokok naik hingga 18,6% untuk jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) tidak mengalami perubahan. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran atas efektivitas pengendalian konsumsi rokok, terutama di kalangan masyarakat miskin dan remaja.
Beberapa ahli menyoroti risiko down-trading, yakni peralihan konsumen ke rokok murah, serta potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal. Menurut Sudibyo Markus, Advisor Indonesia Institute for Social Development (IISD), “Tembakau bukanlah komoditas unggulan, tetapi tradisi turun-temurun yang monopsoni. Kebijakan ini dapat memperparah eksploitasi petani tembakau.”
Sudibyo juga menegaskan, pemerintah perlu konsisten dalam kebijakan fiskal. “Dengan membatalkan kenaikan cukai, pemerintah justru melemahkan upaya menuju Indonesia Emas 2045. Pada tingkat mikro, klaim industri tembakau sebagai ‘soko guru’ perekonomian tidak relevan jika petani terus dirugikan,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Mukhaer Pakkanna, Senior Advisor CHED ITB Ahmad Dahlan, menyebut kebijakan HJE rokok ini tidak cukup untuk menekan prevalensi perokok. “Tarif rendah pada rokok produksi massal membuat rokok tetap terjangkau, khususnya bagi masyarakat miskin dan remaja,” jelasnya.
Ia menambahkan, kebijakan ini lebih menguntungkan industri rokok besar. “Tanpa kenaikan tarif cukai, pengendalian konsumsi sulit dicapai. Pemerintah perlu langkah komprehensif, termasuk pengawasan rokok ilegal dan promosi gaya hidup sehat,” imbuhnya.
Sementara itu, Lily S. Sulistyowati dari Vital Strategies menekankan, kenaikan harga rokok harus dibarengi dengan penyesuaian cukai untuk mengurangi daya beli. “Kenaikan harga dapat menurunkan prevalensi perokok dan mendorong alokasi anggaran keluarga ke kebutuhan kesehatan,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya pemanfaatan pendapatan cukai untuk mendukung program kesehatan masyarakat, seperti kampanye edukasi bahaya merokok, pengendalian iklan, dan percepatan penurunan stunting.
Disisi lain, Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Muhammadiyah mendesak pemerintah untuk memperketat regulasi rokok. “Kami mendukung larangan penjualan rokok eceran, peningkatan cukai, serta edukasi bahaya merokok demi melindungi generasi muda,” ujar Emma Rachmawati, Wakil Ketua MPKU.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) juga mengapresiasi kenaikan HJE namun menekankan pentingnya pengawasan rokok ilegal. “Kami mendesak pemerintah lebih tegas dalam regulasi dan meningkatkan anggaran pengendalian tembakau,” tegas Affan Fitrahman, Youth Ambassador Tobacco Control IPM.
Konferensi pers yang digelar Center of Human Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta bersama Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN) menyimpulkan bahwa kenaikan HJE rokok hanya langkah awal. Kebijakan ini perlu diikuti dengan:
1. Peningkatan tarif cukai rokok.
2. Penyederhanaan golongan tarif cukai.
3. Penegakan hukum terhadap rokok ilegal.
4. Edukasi bahaya merokok secara masif.
Kenaikan HJE rokok tahun 2025 adalah langkah maju, tetapi efektivitasnya akan bergantung pada kebijakan lanjutan yang lebih komprehensif. Tanpa pendekatan menyeluruh, konsumsi rokok sulit dikendalikan, dan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat akan terus berlanjut.