BISKOM, Jakarta – Daniel S. Lev mencatat, di masa lalu terdapat praktik tidak terpuji yang seringkali dilakukan kuasa hukum, yakni membujuk orang agar berperkara.
Dengan ditunjuknya seorang kuasa, para pihak berperkara dalam perkara perdata dapat didampingi maupun diwakili penerima kuasa di depan sidang. 
Namun, tidak jarang hak ini digunakan sebagai dasar kuasa hukum untuk menolak menghadirkan pihak prinsipal in person.
Seakan-akan dengan diwakilinya para pihak berperkara oleh kuasa hukum, maka kehadiran pihak prinsipal di depan sidang mutlak tidak diperlukan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 123 Ayat (3) HIR/Pasal 147 Ayat (4) RBg Pengadilan berwenang untuk memerintahkan pihak prinsipal hadir secara langsung (in person) ke depan sidang.
Ketentuan Pasal 123 Ayat (3) HIR menyatakan de lanraad is bevoegd om persoonlijke verschijning te bevelen van der partijen, welke ter terechtzitting door gemachtigden vertegenwoordogd zijn.
Menurut Soepomo, selain dalam rangka mengupayakan perdamaian, perintah kehadiran pihak berperkara di depan sidang bertujuan untuk mendengar langsung pihak berperkara demi memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai duduk perkara yang sedang disengketakan.
Tidak jarang, gugatan maupun permohonan yang diajukan tidak memuat seluruh fakta penting yang dibutuhkan dalam proses pemeriksaan perkara.
Daniel S. Lev mencatat, di masa lalu terdapat praktik tidak terpuji yang seringkali dilakukan kuasa hukum, yakni membujuk orang agar berperkara.
Kuasa ini, kemudian mengulur-ulur perkaranya dan terus menerus memungut bayaran dari pemberi kuasa. Praktik dimaksud, akhirnya menimbulkan kecurigaan dalam proses persidangan, sehingga hakim perlu mengkonfirmasi keinginan sebenarnya dari para pihak berperkara.
Dalam praktik hari ini, masih ditemukan oknum advokat nakal yang tidak ragu melanggar kode etik advokat. 
Pada tahun 2024, Peradi telah menerima 160 aduan terkait advokat nakal yang sebagian dari aduan tersebut berujung pada pemecatan sebagai advokat.
Tidak jarang, terjadi pemalsuan pemberian kuasa dengan berbagai motifnya. 
Kehadiran para pihak secara langsung di depan sidang bersama-sama dengan kuasanya dapat memberikan keyakinan atas kuasa yang diberikan serta menghilangkan keraguan atas keabsahan surat kuasa.
Akibat Hukum Ketidak hadiran Prinsipal
Kewenangan Hakim memerintahkan pihak prinsipal hadir secara langsung di persidangan dalam perkara perdata merupakan bagian dari hukum acara perdata, yang pada prinsipnya bersifat memaksa.
Hal tersebut, dikarenakan pelanggaran terhadap perintah Hakim akan menimbulkan sanksi dan kerugian bagi pihak yang diperintahkan untuk hadir.
Sebagai perbandingan, dalam tahap mediasi di Pengadilan, diatur bahwa para pihak (prinsipal) wajib menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh Kuasa Hukum.
Akibat hukum, bilamana para pihak tidak hadir secara langsung dalam pertemuan mediasi, yakni dapat dinyatakan tidak beritikad baik oleh Mediator (vide Pasal 7 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2016).
Jika merujuk pada Pasal 238 BRv, pihak (prinsipal) yang tidak datang tanpa alasan yang sah, meskipun telah dipanggil untuk hadir di depan sidang, maka ketidak hadirannya tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pengakuan atas hal-hal yang akan ditanyakan di depan sidang (de daadzaken over welke de vragen loopen, zullen kunnen worden gehouden voor erkend).
HIR maupun RBg sendiri tidak menjelaskan dengan tegas akibat hukum dari ketidakhadiran para pihak (prinsipal) yang telah diperintahkan untuk hadir di depan sidang.
Namun, kiranya patut untuk dinyatakan, tidak hadirnya para pihak prinsipal in person meski telah diperintahkan, dapat berakibat pada gugatan menjadi tidak dapat diterima, karena legal standing dari penerima kuasa dianggap tidak jelas, atau dianggap melebihi kewenangan yang diberikan oleh pihak prinsipal (nemo plus iuris) dan lain-lain bentuk sanksi dalam hukum acara perdata sesuai dengan kondisi yang dianggap relevan oleh Hakim.
Media Kehadiran Pihak
Bilamana. merujuk ketentuan Pasal 233 BRv, pihak prinsipal yang berada jauh dari pengadilan pemeriksa perkara diperbolehkan untuk diperiksa atau didengar pada pengadilan terdekat.
Ketentuan ini, tentu akan mempermudah pihak prinsipal yang memang menggunakan jasa kuasa hukum karena Ia berada jauh dari lokasi pengadilan pemeriksa perkara. 
HIR maupun RBg memiliki ketentuan yang serupa, namun hanya berlaku dalam hal pemeriksaan saksi.
Kedua sumber hukum perdata tersebut memperbolehkan didengarnya saksi di pengadilan yang terdekat dengan tempat tinggal saksi (vide Pasal 143 ayat (2) HIR) atau memeriksa di tempat saksi tinggal jika Ia dalam kondisi sakit (vide Pasal 169 RBg).
Saat ini proses pemeriksaan saksi, telah berkembang dengan memperbolehkan didengarnya keterangan saksi-saksi melalui media audio visual (vide Pasal 24 ayat (3) Perma 7 Tahun 2022).
Maka sudah sepatutnya proses didengarnya pihak prinsipal juga berkembang dengan mengakomodir perkembangan teknologi yang memudahkan para pihak.
Perkembangan serupa sejatinya telah diberlakukan dalam proses mediasi. 
Para pihak dalam proses mediasi dapat hadir melalui media komunikasi audio visual jarak jauh (vide Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2016).
Hal ini, kemudian ditegaskan dalam ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik. 
Sehingga, pertemuan secara langsung dalam proses mediasi, dapat dilakukan baik dengan tatap muka secara langsung di dalam ruang mediasi, ataupun melalui media komunikasi audio visual yang disepakati oleh para pihak.
Hukum acara perdata pada dasarnya bersifat memaksa, akan tetapi ada yang memberikan ruang untuk penyimpangan.
Dalam sejumlah perkara, para pihak dapat membuat perjanjian yang mengatur daya dari suatu alat pembuktian yang mana berbeda dari ketentuan dalam hukum pembuktian.
Bahkan dimungkinkan disepakati ada alat bukti yang tidak disebut sedikitpun oleh undang-undang. 
Pitlo menjelaskan lebih lanjut, bahwa teknik modern, telah memunculkan alat-alat pembuktian baru yang oleh pembentuk undang-undang seratus tahun yang lalu tidak pernah terpikirkan.
Dengan melakukan analogi terhadap hukum acara pembuktian serta proses mediasi elektronik di atas, maka mestinya dalam era modern saat ini, diperkenankanlah prinsipal untuk hadir memberikan keterangan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh.
Pada masa mendatang, seyogyanya Mahkamah Agung segera memberikan pengaturan yang tegas mengenai kebolehan, serta tata cara para pihak prinsipal untuk hadir dan diperiksa melalui media komunikasi audio visual dalam pemeriksaa perkara perdata. (Juenda)
                








