BISKOM, Jakarta – Kejahatan narkotika merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan, peredaran gelap, atau kepemilikan narkotika tanpa hak Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menjelaskan 11 September 2025.
”Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
” Lebih lanjut Pasal 7 UU Narkotika, menerangkan perihal penggunaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Kejahatan narkotika merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan, peredaran gelap, atau kepemilikan narkotika tanpa hak atau melawan hukum, merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), karena dampak korban yang luas dan terorganisir oleh sindikat internasional.
Kemudian penegakan hukum terhadap perkara narkotika, saat ini dilakukan melalui serangkaian proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan, yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Upaya tersebut, mencakup penindakan atas peredaran dan penyalahgunaan narkotika, dengan sanksi pidana yang keras, serta memberikan rehabilitasi kepada pengguna yang terbukti sebagai korban.
Beragamnya kejahatan narkotika yang meluas dan terus berulang di suatu daerah, membuat wilayah tersebut darurat kejahatan narkotika, di mana salah satu akibat dari kejahatan narkotika memicu kejahatan lainnya.
Apalagi kejahatan jual beli narkotika atau yang sifatnya transaksional dan memperluas peredaran narkotika, memiliki potensi berkaitan dengan Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sisi lain, letak geografis juga mendukung suatu wilayah jadi darurat peredaran narkotika, seperti dekat ataupun strategis dari jalur tranportasi massal.
Peran Pengadilan dalam Mengatasi Kejahatan NarkotikaMahkamah Agung RI telah berupaya serius mengatasi kejahatan narkotika, salah satunya dengan mengeluarkan pedoman seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) guna menyeragamkan penanganan kasus narkotika oleh Hakim dan penegakan hukum yang konsisten, sekaligus memberi arahan dalam mengatasi problema hukum yang kompleks di pengadilan, khususnya dalam penanganan tindak pidana narkotika.
Salah satu bentuknya, penyusunan SEMA Nomor 3 Tahun 2023 dan SEMA Nomor 3 Tahun 2015.
Di samping itu ada peraturan bersama antara BNN, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, Polri, Kemenkes, Kemensos, serta Mahkamah Agung, yang ditandatangani pada tahun 2014 untuk mengatur penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba ke lembaga rehabilitasi, bukan ke penjara.
Penyusunan ketentuan dimaksud, bertujuan menerapkan rehabilitasi sebagai pilihan hukuman bagi penyalahguna narkotika melalui asesmen terpadu, dengan mengikuti syarat-syarat yang sudah dituangkan dalam ketentuan tersebut.
Beberapa Faktor Penyebab Sebuah Daerah Darurat Kejahatan Narkotika Gaya hidup atau budaya yang konsumtif di suatu wilayah, akan membuat orang atau sekelompok masyarakat silau untuk mencari pekerjaan dan keuntungan yang besar, sekalipun terlibat dalam peredaran narkotika dalam memperjualbelikannya.
Peluang tersebut, dimanfaatkan dalang peredaran narkotika, dengan mempekerjakan seseorang atau masyarakat yang tertarik dengan upah atau bayaran yang besar dalam waktu cepat.
Pelaku yang berafiliasi dengan tokoh publik atau bahkan menjadi tokoh publik itu sendiri, dinilai ampuh guna menjalankan praktek kejahatan narkotika.
Dikarenakan, pelaku dapat berlindung di balik dedikasi, popularitas dan pengaruhnya.
Masyarakat terlebih pengikutnya tidak akan berpikir bilamana tokoh publik tersebut, terlibat dalam praktek kejahatan narkotika, selain pengikutnya mendukung dan masyarakat umum juga menilai prestasi yang sudah dibangunnya tokoh masyarakat, baik sebelum sampai menjadi tokoh publik tersebut.
Sekalipun terdapat orang atau masyarakat mengetahui fakta tokoh publik tersebut, terlibat kejahatan narkotika, di mana masyarakat segan untuk mengungkap atau membantu proses penegakan hukum, karena resiko besar yang akan ditanggungnya saat melawan tokoh publik.
Demikian juga, adanya Penegak hukum yang terlibat dalam kejahatan narkotika itu sendiri.
Faktor yang melandasi oknum aparat penegak hukum tersebut, antara lain keserakahan, tekanan ekonomi, pengaruh jaringan narkoba, dan kurangnya pengawasan internal di dalam institusi itu sendiri.
Di samping itu, kompleksitas peredaran narkotika yang melibatkan jaringan luas dan memanfaatkan teknologi bisa menjadi celah keterlibatan oknum aparat.
Bahkan tanpa perlu bermufakat dengan oknum aparat, cukup dengan mempelajari pola penegakan hukum yang terjadi di wilayah tertentu, dari penyelidikan sampai dengan dibacakan putusan bahkan sampai proses upaya hukum, para dalang atau pelaku kejahatan narkotika, dapat menyiapkan bagaimana caranya supaya peredaran narkotika di wilayah tersebut, dilakukan secara optimal namun dengan risikonya yang minim, meskipun dilakukan proses penegakan hukum.
Kesimpulan penulis kali ini, kendati Pengadilan yang berlokasi di daerah darurat peredaran narkotika, tidak dapat meniadakan atau mengurangi kejahatan narkotika di kawasan itu secara langsung dan signifikan.
Namun Pengadilan melalui Hakim pemeriksa perkara, selain perlu memelihara integritas dan objektivitas pemeriksaan perkara, diharapkan juga bisa mempelajari hubungan masyarakat dengan kejahatan narkotika di wilayah tersebut, dengan cara mengetahui lebih lanjut, fakta di luar unsur pidana saat pemeriksaan terdakwa maupun saksi kepolisian (unit Narkotika) terkait fenomena kejahatan narkotika di kawasan tersebut.
Lalu, mempelajari putusan pidana narkotika sebelumnya, dengan menilai motif atau cara melakukan kejahatan.
Kemudian melalui proses pengawasan dan pengamatan kepada terpidana di rumah tahanan, guna mempelajari relasi terpidana dengan kejahatan narkotika pasca dijatuhi putusan. (Juenda)